Menjadi
pendengar baik tidak selamanya membosankan. Adakalanya kita juga dapat memetik
pelajaran berharga dari berbagai kisah yang dituturkan oleh lawan bicara kita.
Beberapa pekan belakangan ini justru dipercaya oleh beberapa orang—teman
dekat—untuk menjadi pendengar baik dari berbagai kisah mereka dan belajar
memahami tingkat emosi dari masing-masing individu. Kita tahu bahawasanya
setiap situasi dan kondisi dari masing-masing orang tidak lah selalu sama. Maka
dari itu, keberagaman tingkat emosi manusia pun juga sangat bervariasi.
Seketika merasa bahagia, sedih, galau, dan bahkan merasa hambar. Dan selama
menjadi pendengar setia mereka, ada sesuatu yang dapat saya pahami ketika kita
berada dalam emosi yang berbeda setiap waktunya.
Perasaan
bahagia dapat tercipta manakala sebuah kenyataan berbanding lurus dengan apa
yang kita impikan. Atau sebuah pencapaian yang melebihi dari apa yang kita
targetkan selama ini. Ya, meski kebahagiaan itu bersifat relatif pada
masing-masing personal, namun saya yakin bilamana sesuatu yang kita
idam-idamkan selama ini dapat tercapai melalui sebuah proses perjuangan dan
kerja keras, maka jangan ditanya lagi seberapa besar nilai kebahagiaan yang
dirasa.
Begitu
banyak kisah kebahagiaan dari orang-orang terdekat. Mengenai momentum kelulusan
mereka, pernikahan mereka, kisah kelahiran anak pertama mereka, dan lain
sebagainya. Respon kebahagiaan pun juga akan berbeda pada tiap masing-masing
personal. Ada yang menyikapinya dengan biasa-biasa saja, ada yang girang bukan
kepalang dalam menyambut keberhasilannya, dan bahkan mungkin juga ada yang
berbangga diri atas pencapaiannya hingga lost
control yang memuncak pada suatu kesombongan. Naudzubillah ya
kalau sudah begini. Tapi ya namanya juga manusia toh pasti mereka tidak akan
pernah luput dari kesempurnaan—termasuk mungkin saya sendiri tanpa saya
disadari—! :)
Kebagiaan
adalah anugerah dari Tuhan. Karena tidak semua orang dapat merasakan
kebahagiaan dengan cara cuma-cuma dalam hidupnya. Meski konon kebahagiaan itu
sangat sederhana, namun saya yakin bahwa pencapaiannya tidak sesederhana
penguraiannya. Akan ada banyak perjuangan, kerja keras, kegigihan, dan bahkan
sesuatu yang musti dikorbankan (peluh, tangis, dan darah) untuk mendapatkannya.
Kalau pun kebahagiaan nampak begitu sederhana, saya yakin itu bukan suatu
kebahagiaan, melainkan sebuah kesenangan.
Ada
banyak faktor terbentuknya suatu kebahagiaan dalam diri masing-masing personal.
Yang menjadi perhatian penting adalah bagaimana cara kita tetap mempertahankan
emosi tersebut agar selalu membangkitkan nilai positif dan semangat di setiap
letupan emosi yang ada. Meski tingkat moody seseorang
setiap waktu selalu dinamis mengikuti suasana hati masing-masing, namun
BERSYUKUR adalah cara jitu untuk berterima kasih atas perasaan merekah ruah
agar selalu tumbuh di dalam hati. Dan bahkan sebagian orang meyakini bahwa
kebahagiaan itu sangat mudah didapat hanya dengan rasa syukur. Perkara setuju
atau tidak, itu semua tergantung dari interpretasi masing-masing individu.
Sama
halnya dengan kebahagiaan, faktor kesedihan juga banyak penyebabnya. Seperti
yang dialami teman dekat beberapa pekan belakangan ini. Kegagalan, kekecewaan,
putus asa, perdebatan, pesakitan, dan bahkan kehilangan orang-orang yang
disayang. Kebahagiaan juga tidak lepas dari rasa sedih yang mendalam, menyadari
bahwa setiap manusia tidak selalu merasa bahagia di setiap waktunya. Bisa jadi
seseorang merasakan kebahagiaan setelah mengalami suatu pesakitan yang
mendalam, atau bahkan pernah merasakan suatu kebahagiaan kemudian dirundung
oleh perasaan sedih akibat suatu kejadian. Seperti hukum alam; ada siang ada
malam, ada atas ada bawah, ada hitam ada putih, ada bahagia pasti juga ada
sedih.
Sebenarnya
jika kita mau menanggalkan kacamata kuda, tidak selulu melulu suatu kesedihan
adalah suatu bencana. Jika kita mau berfikir positif, sebenarnya kesedihan
adalah wujud cara Tuhan menyayangi kita dengan cara yang mungkin kita sendiri
kurang menyukainya. Dimana kita akan diajarkan pada proses sabar dan ikhlas
yang sebenarnya cukup sulit dalam pengaplikasiannya. Memang tidak semudah apa
yang dituliskan, namun jika belajar dari guru terhebat dalam
hidup—pengalaman—memang seperti inilah realitanya. Saya juga pernah mengalami
tiitk dimana hidup benar-benar merasa down dan
berada di titik paling dalam dari sebuah kesedihan, yaitu pada saat kepergian
laki-laki yang paling dicintai dalam hidup keharibaan-Nya; Bapak.
Mungkin
seruan untuk bersabar dan ikhlas kurang tepat jika kiranya disuguhkan kepada
mereka yang sedang berada pada titik paling bawah dalam hidup (bersedih). Namun
disadari atau tidak, percaya-tidak-peraya, seiring berjalannya waktu justru
proses bersabar dan ikhlas akan muncul dengan sendirinya tanpa kita sadari.
Mengeluh pun juga tidak akan mecahkan masalah. Kendati pun kita merasa cukup
puas meski hanya sesaat karena dapat meluapkan segala kekecewaan dan uneg-uneg
dalam hati, namun tetap saja dengan mengeluh tidak akan ada solusi yang dapat
dicapai. Lagi-lagi, rasa SYUKUR akan jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan
sebuah hujatan, makian, atau rasa kecewa kepada Sang Pemilik Hidup. Karena
sebagai manusia biasa, mungkin dengan bersyukurlah adalah cara paling mudah
yang dapat kita lakukan untuk proses menikmati berserah diri.
Selain
itu jika kita mau berfikir positif, sebenarnya sebuah kesedihan juga merupakan
cerminan intropeksi diri agar kualitas pribadi yang kita miliki dapat lebih
baik lagi kedepannya. Mungkin saja cara yang kita pakai selama ini kurang tepat
untuk kita terapkan pada setiap permasalahan yang ada. Konon kita tidak akan
menikmati indahnya pelangi tanpa adanya tetesan hujan. Baiklah kita anggap saja
kesedihan dan setiap permasalahan yang ada sebagai hujan, jika kita mampu
melewatinya, saya yakin Tuhan akan menghadiahkan kado terindah berupa pelangi
tadi; kebahagiaan. Meski proses mendapatkannya seperti bermain lotre! :)
Demikian
juga dimana pada saat seseorang sedang merasakan suatu kegalauan. Kata GALAU
mulai menjadi trend pada awal tahun 2012
hingga saat ini. Virus ini pun lebih populer menggerogoti kalangan kaula muda.
Bahkan saya pun juga tidak luput terjiprat virus ini lantaran urusan Skripsi
beberapa bulan yang lalu. Beberapa teman juga terjangkit virus yang melemahkan
semangat ini lantaran urusan asmaranya (ehmm:p). Perasaan galau selalu
diiidentikkan dengan dilema, keraguan, kebimbangan, kegelisahan atas sebuah
pilihan yang tidak disegerakan dalam pengambilan sebuah keputusan dengan maksud
dan tujuan agar hasil yang dicapai lebih baik lagi dari sebelumnya. “Boro-boro
mau move on, buat mentuin pilihannya aja masih bingung!”. Kalimat macam ini
yang kerap dilontarkan oleh kebanyakan orang.
Sebenarnya
bukan sulit atau tidaknya, melainkan karena faktor keraguan dan ketakutan akan
sebuah resiko yang diambil manakala akibat move on itu
dilakukan. Sebenarnya kalaupun terdapat sebuah kesalahan atau pun kegagalan
atas pilihan yang sudah diambil, bukankah pada akhirnya kita akan diajarkan
pada proses kebenaran—kebaikan—itu sendiri? Dan yang lebih parah lagi adalah
ketika kita tidak tahu pilihan mana yang akan kita ambil, dan tidak tahu pula
sampai berapa lama kegamangan itu kita biarkan hadir dalam hati kita. Nah ini
sama halnya dengan sengaja menumbuh dan mengembangbiakkan virus kegalauan itu
secara nyata hingga mendarah daging, wahai saudara-saudara! :D
Mungkin
serasa tidak ada lagi yang tersisa, sebenarnya justru di sini ada sebuah
pembelajaran. Untuk keputusan yang tidak bisa diplih dan yang tidak bisa segera
dilupakan, ya tidak perlu dilupakan. Namun segera dipilih dan perlu disulap
sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati tanpa meninggalkan pesakitan. Karena
saya yakin bahwa masing-masing individu pasti memiliki cara tersendiri untuk
menyikapi setiap permasalahannya, termasuk kegalauannya. Adalah bar-bar ketika
kita memaksa orang lain untuk sama dan mengikuti cara kita. Sorry
I don’t know the answer, but U exactly do! :)
Kemudian
adanya perasaan hambar yang berbeda dari situasi dan kondisi sebelumnya.
Perasaan hambar terjadi bilamana suatu perasaan yang pada awalnya bergejolak
kemudian berubah menjadi biasa, datar, dan statis. Tidak merasa bahagia, tidak
sedih, tidak galau, dan bahkan serasa membosankan karena sebuah kejenuhan
terhadap sesuatu yang monoton dan tidak ada pembaharuan di dalamnya. Mungkin
bisa jadi setiap orang pasti juga pernah mengalaminya. Perasaan hambar juga
diidentikkan dengan kekosongan. Sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang
positif, tanpa kekosongan siapa pun tidak akan dapat memulai sesuatu. Lewat
kekosongan ini justru sebenarnya adalah peluang bagi kita untuk memulai
sesuatu, peluang untuk membangkitkan semangat dan gairah positif yang mulai memadam.
Manusia
layaknya seperti air, meskipun tidak dapat disamakan dengan air. Namun sifat
yang ada di semesta alam ini dapat dijadikan pelajaran oleh manusia. Kelebihan
manusia adalah dapat merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, atas
ijin-Nya. Sementara air tentu saja tidak mungkin berfikir untuk membalikkan
arus. Manusia mampu melakukan hal tersebut. Tergantung mereka ingin atau tidak,
bukan mampu atau tidak. Disinilah maksudnya, bahwa perasaan manusia sebenarnya
dimanis. Kalau pun perasaan manusia serasa datar, kosong, dan hambar, saya
yakin itu hanya bersifat sementara. Seiring berjalannya waktu, jika manusia
INGIN mengisi kekosongan itu maka suatu hari nanti akan terisi dengan
keberagaman warna yang akan menghadirkan cinta di dalamnya.
Setiap
suasana hati dan fikiran manusia akan selalu berubah disetiap waktunya.
Perasaan bahagia, sedih, galau, hambar, dan bahkan apa pun bentuknya, sebagai
manusia biasa kita tidak dapat memprediksikan apa yang akan terjadi di kemudian
hari. Yang dapat kita lakukan adalah selalu berusaha bagaimana memberikan yang
terbaik untuk hari ini. Karena untuk menjadi yang terbaik adalah bukan karena
ingin terlihat berbeda diantara yang lain, dan memaksakan diri agar sama
baiknya dengan orang lain. Terbaik adalah dimana kita bisa melampaui diri kita
sendiri, untuk memecahkan rekor kita sendiri dan menjadi lebih baik dari hari
kemarin. Memberi, mensyukuri, menikmati, lalu bahagia! :)
So, don’t hide out
inside yourself, if you only let the sunshine on you. Just open up your heart
and feel every spectaculer shiver in your life, then make your life be lively. Whatever
the season what you getting now, your life is worthy. Trust me! ;)
– Rose Dian Jaianti –
itulah rasa...
BalasHapusjadi keinget pertanyaan setahun yang lalu dari seorang trainer.." Apa sukses menurut anda???"..saya pun menjawab "Sukses= Bahagia=syukur".
>>jempol buat jenk Rose Dian jaianti
Iya, interpretasi bahagia juga tidak bisa disamaratakan pada masing-masing personal. Melihat konteks pencapaian bahagia itu sendiri tidak semudah seperti apa yang dirasakan. Namun, sebagian orang berasumsi bahwa kebahagiaan itu bermuasal pada rasa 'syukur'. Yaaa..perkara kita setuju atau tidaknya, hal demikian juga tergantung pada persepsi masing-masing! :)
HapusTerima kasih sudah mampir, (tuan/nona) Anonim! :)
Ilustrasi penutupnya kereeen mak
BalasHapusHai, mbak Fenny!
HapusHuaaa saya belum beranak loo, mbak! :D
Tapi makasih buat kunjungannyaaa. Salam kenaal :)