"Bahwa setiap ketetapan-Nya adalah baik, kalau pun ada yang buruk, itu adalah interpretasi seorang hamba yang tidak ridho atas ketetapan Tuhannya.."
-Rose Dian Jaianti-
-Rose Dian Jaianti-
Seringkali
kita selalu menyematkan teori perbandingan dalam keberagaman hidup. Disadari
atau tidak, justru dari perbedaan-perbedaan itulah variasi akan tercipta.
Manusia selalu merasa bahwa dirinya tidak pernah terpuaskan oleh hasratnya.
Padahal sejatinya hastrat itu letaknya di jiwa, bukan pada pandangan mata.
Sebab jika pencapaian kepuasan selalu diasumsikan dengan kasat mata, maka dalam
kamus hidup umat manusia, mereka tidak akan pernah menemukan kata puas. Ditambah
lagi dengan sifat manusia yang memang tidak pernah terpuaskan.
Sering
kita dengar berbagai pernyataan berikut : “enak ya jadi si ‘rumput’, suaminya
punya jabaatan, mobilnya banyak, rumahnya mewah, fasilitas hidupnya super ‘wah’
pula”. Atau, “hebat ya jadi si ‘meong’, punya segudang pretasi yang
membanggakan, punya pekerjaan yang mapan, orang tuanya pasti bangga. Terus aku
kapan yaa?”. Nah loo.. >_<
Lagi-lagi
teori perbandingan lebih sering didefinisikan dari pada lebih memilih
mensyukuri nikmat Tuhan. Tidak sedikit kebanyakan dari kita lebih sering
memperhatikan dan sibuk menjaga kelebihan hidup orang lain, lalu
membandingkannya dengan kekurangan-kekurangaan yang kita miliki. Maka tidak
heran, jika seringanya manusia berasumsi bahwa rumput tetangganya jauh lebih
hijau dari pada rumput pekarangannya sendiri. Yakin dengan praduga itu? Ya, mungkin
ada baiknya jika kita melakukan koreksi dulu dengan pekarangan sendiri sebelum
berspkekulasi demikian! :)
Perlu
disadari, bahwa Tuhan tidak pernah sia-sia menciptakan makhluknya di semesta
alam ini meski seberat zahra pun. Semuanya sudah ada takarannya masing-masing.
Dia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para hamba-Nya untuk terus berikhtiar.
Meski pada akhirnya, ‘ketetapan’ itu adalah hak prerogatif Tuhan. Begitu pula
dengan jalan hidup si ‘rumput’ dan si ‘meong’. Semuanya juga tidak lepas dari
ikhtiar mereka masing-masing. Itu kenapa jalan hidup kita tidak selalu linear.
Tidak selalu pendakian, juga tidak selalu penurunan. Lalu bagaimana dengan
ikhtiar kita, sudahkan melakukan yang terbaik semaksimal mungkin? Sudahkan
memberikan kebaikan sebelum menagih imbalannya? Sudahkan bersyukur dari pada
mengeluh dan menghujat? Ya, jawabannya ada pada masing-masing dari diri kita.
Sebenarnya
rumput tetangga terlihat lebih hijau bisa jadi karena terlihat dari kejahuan.
Padahal nyatanya jarak memang sering menipu pandangan. Seperti halnya sebuah
bukit yang menggundul, namun karena terlihat dari kejahuan, maka tetap saja
akan nampak hijau dalam penglihatan kita. Atau misalnya, bulan purnama di atas
langit yang nampak elok dengan bias cahayanya yang menguning keemasan. Padahal
sejatinya, jika dilihat dari jarak yang begitu dekat, semuanya itu tidak lain
hanyalah sebuah hamparan padang tandus yang berlubang-lubang.
Percaya
atau tidak, apa yang dinilai secara kasat mata tidak selalu benar. Bisa jadi,
semuanya itu adalah hasil dari pada adopsi praduga-praduga manusia yang
diinterpretasikan melalui logika. Kita bisa saja beranggapan bahwa hidup orang
lain lebih ‘wow’ dari pada hidup kita. Namun siapa yang tahu, bahwa di luar
sana ada banyak orang yang termotivasi dengan kisah kita untuk menjadi pribadi
yang lebih baik lagi. Dan tanpa kita sadari, secara diam-diam ada banyak orang
yang memperhatikan dan mengagumi kepribadian kita. Dan mungkin saja, diluar
sana juga ada orang yang tanpa kita ketahui pernah mendoakan kita karena
kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan. Si kaya belum tentu merasa aman
dengan kemewahan yang mereka miliki. Si pandai belum tentu dapat memberikan
kemanfaatan bagi sesama. Dan si rupawan juga belum tentu memiliki hati yang
mulia, begitu bukan?
Semuanya
pasti ada nilai plus dan minusnya masing-masing. Bukankah akan lebih baik jika
kita memberikan perhatian lebih pada pekarangan sendiri? Menjaganya,
merawatnya, dan memeliharanya agar tumbuh dan berkembang dengan sebaik mungkin.
Sehingga pada akhirnya, pekarangan yang kita miliki tidak kalah indah dengan
milik orang lain. Sebab disadari atau tidak, bahwa asumsi rumput tetangga jauh
lebih indah dari pada pekarangan sendiri dikarenakan diri lebih sering
mengeluh, menyesal, lalu kufur nikmat. Hei, nikmat Tuhanmu yang manakah yang
kau dustakan? Percayalah, bahwa setiap ketetapan-Nya adalah baik, kalau pun ada
yang buruk, itu adalah interpretasi seorang hamba yang tidak ridho atas
ketetapan Tuhannya.
Alangkah
baiknya jika manusia sibuk menghijaukan rumput surganya sendiri dari pada
mengurusi hijaunya rumput tetangganya. Menanam bibit-bibit kebaikan, dan
memastikan selalu untuk merawatnya dengan memberikan pupuk terbaik; syukur. Dengan demikian, tidak selamanya rumput tetangga akan nampak terlihat lebih hijau dari pekarangan kita. Percayalah!
Mari berladang kebaikan.. ;)
----------------
Tanpa lilin,
Tuhanku menyukai hamba-Nya
yang bersyukur! ;)
sawang sinawang....
BalasHapus:)
Sawang Sinawang = Melihat dan Dilihat.
HapusYa, tak jarang dari kita sering mengganggap bahwa rumput tetangga jauh lebih hijau dari pada rumput sendiri. Padahal nyatanya jarak memang sering menipu pandangan. Jika kita mau mencermati dan memahami lebih dalam, bisa jadi rumput kita sendiri malah sebenarnya lebih hijau. Ini bisa dimungkinkan karena kita sangat jarang atau malas untuk memandangi rumput sendiri. Disadari atau tidak, dengan BERSYUKUR sebenarnya adalah pupuk jitu untuk menyuburkan pekarangan kita.
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya, Dihas! :)
well, benar adanya semua pernyataan di artikel ini.
BalasHapustapi aku salah satu pribadi yang "just floating along". Aku tak punya waktu untuk membanding-bandingkan hehe...
Hai, Dika.
HapusSepaham, dari pada sibuk menyematkan teori perbandingan, alangkah lebih baik memang jika kita sibuk berbenah dengan pekarang kita sendiri agar nampak indah dan nyaman! :D
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya. Salam kenal :)
Hai Rose
BalasHapusKadang melihat rumput tetangga yang lebih hijau itu perlu loh. Bukan untuk membandingkan rumput milik kita, tapi sebagai penyemangat.
Maksudnya gini, waktu melihat orang lebih sukses kita pasti berpikir "ah dia aja bisa, kenapa aku nggak?", tapi kadang lupa bagaimana kesuksesan yang mereka dapat melalui proses yang panjang.
Melihat rumput tetangga yang lebih hijau, bukannya tidak bersyukur juga. Bersyukur itu pasti. Menerima diri kita apa adanya itu wajib, tapi mencari ada apanya pada diri kita itu perlu (potensi).
Salam senyum :)
Hai, Adit :D
HapusWaaah terima kasih sudah melihatnya ada kacamata positif :)
Iyaaa sepakat, jika melihatnya sebagai motivasi diri untuk menjadi dan mencapai hasil terbaik dari apa-apa yang sudah diraih. Asaaaaaaaaaaaall, yang musti digaris bawahi adalah bahwa teori perbandingan yang diselalu disematkan tersebut tidak membuat diri menjadi pribadi yang kufur nikmat. Semoga.. :)
Makasi sudah mampir.. :D
Ah ya jangan sampai kufur nikmat :)
HapusTerimakasih sudah mengingatkan :D
Mungkin akan sering mampir kesini. Semua tulisan disini kebanyakan menginspirasi, tata bahsanya benar-benar ciamik :) Kapan-kapan pengen bikin review tulisan disni. Dan... backsongnya jempolan! Aku suka lagu ini, Tentang Seseorang, sekaligus film yang membawanya.
Waaaah terima kasih sudah sering mampir kemari. Monggo silahkan diambil sendiri jamuannya, he :p
HapusIyaaa iseng aja Dit pake backsound ini, ntar kalo bosen pasti ganti lagi, wkwk :D
Begitulah, Mba...! Memang lebih gampang melihat bulu di hidung orang lain ketimbang melihat bulu di hidung sendiri, kecuali kalau mau berkaca, hehe...!
BalasHapusSeperti biasa, KEREEEN
Hai, bang Siraul :D
HapusIyaaa selain introspeksi diri itu penting, bersyukur itu juga jauuuuh lebih penting. Mudah-mudahan kita bisa melakukannya.. Aamiin.. :)
Postingan menarik, Mbak. Dan bagi yang tertarik dunia survei bisa klik: http://www.idsurvei.com/member/?p=tips&q=detail&id=7&u=WAHYUDI93
BalasHapusHai, mbak/kakak Anonim! :D
HapusIyaaa terima kasih sudah berkunjung. Salam kenal yaa.. :)