Senin, 03 Juni 2013

Manusia Laba-Laba dan Gradasi Langit Senja


"Bahwa senyuman terakhir di ujung usiamu adalah obat dari segala obat yang ditakdirkan-Nya sebagai pemulih untuk membersamai semangat yang kau wariskan"
-Rose Dian Jaianti-

Berada di atas genteng rumah adalah kebiasaan yang kerap dilakukan pada saat sore hari. Ritual ini biasa saya lakukan hanya untuk menikmati guratan kuas Tuhan pada kanvas-Nya yang menghasilkan warna jingga kemerahan. Ya, menikmati senja sambil berdialektik pada semesta alam. Mengenai apa saja, apa saja yang berkecamuk dalam benak. Mungkin hanya udara, angin, awan, dan langit yang akan mengerti perdebatan hangat ini. Juga burung-burung gereja yang biasa melintas di depan mata yang seakan memamerkan kemesraan mereka. Ini adalah salah satu ritual ‘asyik’ yang saya sukai. Menikmati kejujuran alam, saat manusia-manusia bertopeng menekuk wajahnya menjadi ratusan.

Benci. Adalah sifat yang sebisa mungkin saya hapus dari kamus kehidupan. Berusaha memalingkannya, dan sebisa mungkin membuangnya jauh-jauh. Kalau pun ada pertanyaan, “yakin nggak pernah membenci?”. Ya, jengkel lebih tepatnya. Bukan membenci. Ingin rasanya merangkul kehidupan dengan penuh ketentraman. Tanpa membenci siapa pun. Kendati pun orang itu pernah berbuat kesalahan yang amat teramat.

Senja kali ini mengingatkan saya pada manusia laba-laba yang sering menghantui saat diri ini mulai berlari pada koridor-koridor kebebasan. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja sabda alam mengajak saya untuk mengingatnya. Padahal, tubuhnya sama sekali tak pernah saya lihat. Saya juga tak pernah mengenalinya. Manusia laba-laba monster yang mau tak mau musti tertoreh dan menjadi bagian dari sejarah dalam hidup yang saya kenali namanya sudah satu setengah tahun lebih.

Kejengkelan ini berawal dari sikap lepas tangan atas perbuatannya. Ya, jangka waktu kehidupan seseorang memang hak veto Tuhan. Namun bukan berarti manusia boleh berlepas tangan atas apa yang dilakukannya, kan? Apalagi jika berkenaan dengan nyawa seseorang. Hukum tetaplah hukum. Namun tetap saja, terlalu luluh jika mengingat wajah laki-laki yang paling dicintai dalam hidup dengan kesabarannya. Selalu dan selalu, meski tak terucap namun tetap saja seruan untuk ‘IKHLAS’ seperti kumandang adzan. Bukan kepergiannya yang diratapi, bukan. Karena saya tahu, bahkan dengan mata lebar-lebar menyadari bahwa hidup adalah tamu. Dan tamu pastilah akan pulang. Namun bukan itu. Sama sekali bukan. Ini mengenai manusia laba-laba yang melipat gandakan jemarinya menjadi ratusan.

Saya benci tubuh hitamnya yang kotor. Saya juga benci dengan capit-capitnya yang tajam. Entah, sejak kapan laba-laba memiliki capit-capit mematikan. Saya juga benci dengan mantel-mantel putih tebalnya yang menjadi pembatas antara dunia saya dengan dunianya. Saya benci nama manusia laba-laba itu. Apalagi untuk bertemu dengannya, untuk menatapnya dibalik jaring-jaringnya yang tebal saja, rasa-rasanya tak ada niatan. Sama sekali tidak ada. Mungkin lebih baik saya tidak mengetahuinya. Lalu membiarkannya menjadi tokoh antagonis dalam dimensi ruang semu. Ya, sama persis seperti tokoh penyihir dalam cerita dongeng yang sering ku baca sewaktu kecil dulu. Menyeramkan. Ini  adalah kali pertama saya membenci seseorang. Sifat yang sebisa mungkin saya buang jauh-jauh, kali ini mencoba menempel pada dinding selaput otak saya.

Angin sepoi. Langit yang memerah. Burung-burung. Juga lantunan ayat-ayat-Nya yang disuarakan dalam mikrofon masjid beberapa kilo meter dari kediaman.

“Kali ini kau berusaha menghiburku kan, Ngit?”, batinku.

Ya, dalam senjanya langit selalu berkotbah akan nikmat Tuhan. Juga tentang perenungan. Lagi-lagi, hanya langit yang mengerti ketika mulut ini terbungkam ditelan kenyataan. Dan hanya langit yang benar-benar memahami ketika hati ini sudah nanar oleh ketidakadilan. Hanya pena. Ya, hanya melalui pena bagaimana langit menyerukan diri ini untuk menyuarakannya. Bodoh. Tudingan kebanyakan orang. Lalu mau apa?

Dan langit, selalu menjadi penyampai bahwa Panglima terbaik dalam hidup sudah tenang. Sudah nyaman, katanya. Kadang, seringkali batin ini menuding bahwa salam-salam yang disampaikan langit adalah palsu. Senyumnya bualan. Namun entah dengan cara apa dan mengapa, senja selalu saja membuat diri ini luluh dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja. 

Tapi sudahlah. Tetap saja musti saya akui bahwa senyumanmu adalah pemenangnya, Bapak. Bahwa senyuman terakhir di ujung usiamu adalah obat dari segala obat yang ditakdirkan-Nya sebagai pemulih untuk membersamai semangat yang kau wariskan. Juga senja-Mu yang memaksaku untuk memberi warna pada hamparan mantel laba-laba hitam itu. Membuatnya agar nampak menjadi indah supaya senada dengan senja sore itu.

Tahukah kau, manusia laba-laba? Sudah ku dapati penawar dari racun mematikan yang kau endapkan di kehidupanku satu setengah tahun lebih yang lalu. Wahai kau manusia laba-laba, tenanglah! Karena sudah ku celupkan jaring-jaring kusutmu pada gradasi langit senja di sore itu yang membuatnya nampak jingga kemerahan. Kau tahu, jaring laba-labamu telah memberikan warna pada koridor-koridor kebebasanku. Sehingga membuat setiap perjalananku di bawah langit-langit tidak lagi terusik. Dan kini, jadilah kebencian pada mantel-mantel kotormu seperti sebuah siluet yang samar dari kejauhan. Tergerus oleh indahnya warna jingga di ufuk barat. Tak ada lagi benci dan maki. Yang nampak hanya gradasi langit senja dan senyuman langit sore. Hati ini tenang. Tentram. Tanpa beban.

2 komentar:

  1. Jangan pernah melupakan bahwa seadil-adilnya hukum adalah hukuman Tuhan....
    Good notes from the real experience....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sudah saya celupkan jaring laba-laba itu pada gradasi langit senja sehingga membuatnya nampak jingga kemerahan. Maha Adil Tuhan-ku atas segala ketetapannya, Insya Allah ikhlas! :)

      Thank's, Arya.

      Hapus

Hello!

Kamu Pengunjung Ke :

Rose Dian Jaianti. Diberdayakan oleh Blogger.

Paling Sering Dilihat

Welcome..

Hai, Selamat datang!

Selamat menikmati beragam gradasi warna yang dipancarkan oleh langit..


Resapi warnanya, nikmati pesonanya, dan tersenyumlah! :)

Selamat menikmati..
*\(^O^)/*

 

Gradasi Senyum Langit Design by Insight © 2009