"Bahwa senyuman
terakhir di ujung usiamu adalah obat dari segala obat yang ditakdirkan-Nya
sebagai pemulih untuk membersamai semangat yang kau wariskan"
-Rose Dian Jaianti-
Berada di atas genteng rumah adalah
kebiasaan yang kerap dilakukan pada saat sore hari. Ritual ini biasa saya
lakukan hanya untuk menikmati guratan kuas Tuhan pada kanvas-Nya yang
menghasilkan warna jingga kemerahan. Ya, menikmati senja sambil berdialektik
pada semesta alam. Mengenai apa saja, apa saja yang berkecamuk dalam benak.
Mungkin hanya udara, angin, awan, dan langit yang akan mengerti perdebatan
hangat ini. Juga burung-burung gereja yang biasa melintas di depan mata yang
seakan memamerkan kemesraan mereka. Ini adalah salah satu ritual ‘asyik’ yang
saya sukai. Menikmati kejujuran alam, saat manusia-manusia bertopeng menekuk
wajahnya menjadi ratusan.
Benci. Adalah sifat yang sebisa mungkin
saya hapus dari kamus kehidupan. Berusaha memalingkannya, dan sebisa mungkin
membuangnya jauh-jauh. Kalau pun ada pertanyaan, “yakin nggak pernah
membenci?”. Ya, jengkel lebih tepatnya. Bukan membenci. Ingin rasanya
merangkul kehidupan dengan penuh ketentraman. Tanpa membenci siapa pun. Kendati
pun orang itu pernah berbuat kesalahan yang amat teramat.
Senja kali ini mengingatkan saya pada
manusia laba-laba yang sering menghantui saat diri ini mulai berlari pada
koridor-koridor kebebasan. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja sabda alam mengajak
saya untuk mengingatnya. Padahal, tubuhnya sama sekali tak pernah saya lihat.
Saya juga tak pernah mengenalinya. Manusia laba-laba monster yang mau tak mau
musti tertoreh dan menjadi bagian dari sejarah dalam hidup yang saya kenali
namanya sudah satu setengah tahun lebih.
Kejengkelan ini berawal dari sikap lepas
tangan atas perbuatannya. Ya, jangka waktu kehidupan seseorang memang hak veto
Tuhan. Namun bukan berarti manusia boleh berlepas tangan atas apa yang
dilakukannya, kan? Apalagi jika berkenaan dengan nyawa seseorang. Hukum
tetaplah hukum. Namun tetap saja, terlalu luluh jika mengingat wajah laki-laki
yang paling dicintai dalam hidup dengan kesabarannya. Selalu dan selalu, meski
tak terucap namun tetap saja seruan untuk ‘IKHLAS’ seperti kumandang adzan.
Bukan kepergiannya yang diratapi, bukan. Karena saya tahu, bahkan dengan mata
lebar-lebar menyadari bahwa hidup adalah tamu. Dan tamu pastilah akan pulang.
Namun bukan itu. Sama sekali bukan. Ini mengenai manusia laba-laba yang melipat
gandakan jemarinya menjadi ratusan.
Saya benci tubuh hitamnya yang kotor. Saya
juga benci dengan capit-capitnya yang tajam. Entah, sejak kapan laba-laba
memiliki capit-capit mematikan. Saya juga benci dengan mantel-mantel putih
tebalnya yang menjadi pembatas antara dunia saya dengan dunianya. Saya benci
nama manusia laba-laba itu. Apalagi untuk bertemu dengannya, untuk menatapnya
dibalik jaring-jaringnya yang tebal saja, rasa-rasanya tak ada niatan. Sama
sekali tidak ada. Mungkin lebih baik saya tidak mengetahuinya. Lalu
membiarkannya menjadi tokoh antagonis dalam dimensi ruang semu. Ya, sama persis
seperti tokoh penyihir dalam cerita dongeng yang sering ku baca sewaktu kecil
dulu. Menyeramkan. Ini adalah kali pertama saya membenci seseorang. Sifat
yang sebisa mungkin saya buang jauh-jauh, kali ini mencoba menempel pada
dinding selaput otak saya.
Angin sepoi. Langit yang memerah.
Burung-burung. Juga lantunan ayat-ayat-Nya yang disuarakan dalam mikrofon
masjid beberapa kilo meter dari kediaman.
“Kali ini kau berusaha menghiburku kan,
Ngit?”, batinku.
Ya, dalam senjanya langit selalu berkotbah
akan nikmat Tuhan. Juga tentang perenungan. Lagi-lagi, hanya langit yang
mengerti ketika mulut ini terbungkam ditelan kenyataan. Dan hanya langit yang
benar-benar memahami ketika hati ini sudah nanar oleh ketidakadilan. Hanya
pena. Ya, hanya melalui pena bagaimana langit menyerukan diri ini untuk
menyuarakannya. Bodoh. Tudingan kebanyakan orang. Lalu mau apa?
Dan langit, selalu menjadi penyampai bahwa
Panglima terbaik dalam hidup sudah tenang. Sudah nyaman, katanya. Kadang,
seringkali batin ini menuding bahwa salam-salam yang disampaikan langit adalah
palsu. Senyumnya bualan. Namun entah dengan cara apa dan mengapa, senja selalu
saja membuat diri ini luluh dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
Tapi sudahlah. Tetap saja musti saya akui
bahwa senyumanmu adalah pemenangnya, Bapak. Bahwa senyuman terakhir di ujung
usiamu adalah obat dari segala obat yang ditakdirkan-Nya sebagai pemulih untuk
membersamai semangat yang kau wariskan. Juga senja-Mu yang memaksaku untuk
memberi warna pada hamparan mantel laba-laba hitam itu. Membuatnya agar nampak
menjadi indah supaya senada dengan senja sore itu.
Tahukah kau, manusia laba-laba? Sudah ku
dapati penawar dari racun mematikan yang kau endapkan di kehidupanku satu
setengah tahun lebih yang lalu. Wahai kau manusia laba-laba, tenanglah! Karena
sudah ku celupkan jaring-jaring kusutmu pada gradasi langit senja di sore itu
yang membuatnya nampak jingga kemerahan. Kau tahu, jaring laba-labamu telah
memberikan warna pada koridor-koridor kebebasanku. Sehingga membuat setiap
perjalananku di bawah langit-langit tidak lagi terusik. Dan kini, jadilah
kebencian pada mantel-mantel kotormu seperti sebuah siluet yang samar dari
kejauhan. Tergerus oleh indahnya warna jingga di ufuk barat. Tak ada lagi benci
dan maki. Yang nampak hanya gradasi langit senja dan senyuman langit sore. Hati
ini tenang. Tentram. Tanpa beban.
Jangan pernah melupakan bahwa seadil-adilnya hukum adalah hukuman Tuhan....
BalasHapusGood notes from the real experience....
Iya, sudah saya celupkan jaring laba-laba itu pada gradasi langit senja sehingga membuatnya nampak jingga kemerahan. Maha Adil Tuhan-ku atas segala ketetapannya, Insya Allah ikhlas! :)
HapusThank's, Arya.