Apa-apa
yang disebut dengan dan mengatasnamakan kebaikan belum tentu sebaik sebagaimana
penafsirannya. Juga mengenai apa-apa yang selalu –mungkin kerap– dihujat dengan
menyebutnya sebagai keburukan, juga belum tentu seburuk sebagaimana yang
ditafsirkan pula. Maka, berhati-hatilah kiranya kalian dalam menggunakan teori
interpretasi.
Ah,
bukan bermaksud untuk menggantung cara berfikir kalian yang sudah pada
tempatnya. Tidak juga untuk mengajak kalian bernalar keluar dari kotak yang
tidak seperti biasanya. Maaf, diri sedang meracau dan berusaha menuangkan apa
saja yang berkecamuk dalam benak. Iya, apa saja. Maka, harap sedia kiranya
kalian maklumi tentang sekelumit racauan ini. Tak usah diterka. Ini hanyalah
mengenai segerombolan anjing penjilat otak udang yang melipat gandakan wajahnya
menjadi ratusan dan kerap membuat syaraf otak menjadi kram. Ah menyebalkan!
(-__-“!)
Ada
pelajaran yang dapat dipetik, bahwa suatu kebaikan tidak selamanya berbalas
dengan kebaikan. Ini bukan perkara hukum balas budi, melainkan realita yang
hanya bisa dipelajari dalam kamus hidup bahwa penjilat itu tidak pernah pandang
bulu; baik teman sejawat, sahabat, maupun kerabat.
Benar
kata jika anjing yang kita perihara, kita beri makan, kita kasihani dan kita
sayangi, bisa jadi pada akhirnya akan menggigit tuannya sendiri. Dan ini juga
bukan perkara bagaimana cara yang baik memberi dia makan, atau jenis makanan
yang diberikan. Namun satu hal yang pasti, bahwa penjilat tetap saja penjilat,
yang pada akhirnya akan dapat berdampak pada konspirasi kemakmuran –meminjam
istilah Vicky Kadal–! (-_-“)
Tapi,
sudahlah. Langit sudah memberikan petuahnya lewat senjanya sore tadi. Dan memang
hanya langit lah yang selalu memahami. Dia selalu sabar dengan megahnya, meski
bumi tak lagi beramah padanya. Langit selalu menjadi peneduh, menjadi pendengar
yang baik lagi setia. Menjadi sahabat dan saksi bisu saat mulut tak mampu lagi
berucap lebih.
Celoteh
langit lewat senjanya, dia hanya berpesan dan berseru untuk memperhatikan dari
mana muasal air laut yang asin, genangan air di tempat becek, atau pun air yang
mengalir di parit-parit. Diri diingatkan kembali, bahwa mereka semua berangkat
ke langit tinggi membentuk uap, lalu berubah menjadi awan hitam, kemudian
kembali ke bumi berbentuk air hujan yang segar dan bersih.
Langit
juga menyeru, seperti itu juga hati yang akhir-akhir ini mungkin tak sengaja
tergores oleh mereka, yang berkali-kali ditikam asa yang belum tentu, yang
mungkin sering terjatuh di lubang sombong, dengki, amarah, dan sebagainya. Lewat
jingganya, langit menyeru untuk membawa hati ke langit yang tinggi untuk
kemudian melihat apa yang akan terjadi.
--------
Hai, langit :)
Bisa
kau beritahu apa yang akan terjadi? Akankan seperti air hujan itu? Atau, mungkinkah
Elang yang akan membawa hati ini terbang tinggi entah pada lapis langit
keberapa asal membersamainya kemana pun dan bisa memberi warna Me-Ji-Ku-Hi-Bi-Ni-U
pada dinding-dinding hati agar kemudian bisa melupakan segerombolan anjing-anjing
penjilat itu?
Tembok
itu terlalu tebal, samar-samar aku menangkapnya. Tolong kirimkan kembali
pesannya yaa..
Aku tunggu..
good post :)
BalasHapusklik me
http://bit*ly/15XV7hg
http://bit.ly/18bITeO
Hai, Farhan. Terima kasih atas kunjungannya yaa..
HapusSalam kenal :)
postnya bagus ;)
BalasHapusKomen back ya
http://www.mora-cyber4rt.blogspot.com/2013/09/mora-cyber4rt-v1-responsive-valid-html5.html
Hai, Mora. Terima kasih sudah berkunjung.
HapusOK, salam kenal yaa.. :)
waduw..penggunaan bahasanya tingkat tinggi..hehe,
BalasHapuskunjungi balik dan follow back
http://fardian-imam.blogspot.com/
unik :)
BalasHapuswaaah keren kak tulisannya meskipun butuh waktu yang lama buat mencerna hehe
BalasHapusHai, Fardian.
BalasHapusHehe makasih sudah berkunjung. Salam kenal yaa.. :)
Hai, Widodo.
BalasHapusMakasi atas kunjungannya, salam kenal yaa.. :)
Hai, Felin.
BalasHapusIyaaa seunik kamu, he. Makasi atas kunjungannya, salam kenal yeee.. :)
Hai, mbak Asma.
BalasHapusHehe makasi sudah sedia mencerna racauan saya. Salam kenal yaa mbak.. :) :)
Langit membalas:
BalasHapusBesok masih akan turun hujan, namun tak ada Me-Ji-Ku-Hi-Bi-Ni-U... sini, aku simpan saja hatimu di balik awan.. biar aku endapkan.. Mungkin lusa akan turun bersama hujan dan menetes di atap lalu merambat pada dinding itu.
Hai, Pita!
BalasHapusJadi, ini maksudmu, Ngit?
Baiklah jika begitu serumu, akan ku titipkan saja hati ini jika pada nantinya akan kau endapkan pada kapas-kapas langitmu. Kau memang pembual ulung, tapi aku menyukainya. Semoga saja kau tepat janji, pada esok lusa kau berlekas menurunkan hujan selepas senjamu. Dengan begitu, jejak-jejak segerombolan anjing penjilat itu dapat segera terhapuskan dan tergantikan oleh pasukan Me-Ji-Ku-Hi-Bi-Ni-U mu.
Ini ku titipkan hatiku, jaga baik-baik yaa, Ngit! :)
Hahaha makasi komennya, Pita! :D
Ini syair apa prosa, kata katanya sungguh berbusa,, eh maaf, kata katanya sungguh berbahasa, hehe
BalasHapusLagi nyuci kaleeee:p
HapusIyaaa, namanya juga menulis. Sama halnya dengan bercerita. Dan bercetia itu pasti menggunakan bahasa. Jadi, menulis sama halnya berbahasa, wkwk :D
*tambah ngaco
Makasih kunjungannya, Sugih! :)