Beberapa
tempo waktu yang lalu, tanpa direncanakan, takdir membawa diri untuk berkesempatan
bertemu dengan petani-petani desa yang luar biasa. Sebut saja dusun Torpong, sebuah
dusun yang terletak di Desa Batonaong, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan –
Madura. Mayoritas penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani. Namun selama
menginjakkan kaki di Desa ini, tak pernah saya jumpai alat pertanian berupa
traktor untuk mempermudah para petani dalam menggarap sawahnya. Semuanya serba
tradisional. Para petani biasa menggunakan cangkul dan sapi-sapi mereka untuk
menggantungkan hidup. Maka jangan heran, jika di setiap pemukiman masyarakat
pedesaan di Madura, akan sering kalian jumpai kandang sapi lengkap dengan sapi-sapinya.
Karena dengan hewan-hewan ternak inilah biasanya para petani menggantungkan
hidupnya.
Berkesempatan
menjadi seorang tenaga pengajar di sebuah sekolah dasar di pelosok merupakan
sebuah keberuntungan tersendiri bagi saya. Ketika memasuki perkuliahan tingkat
akhir dimana sebagian besar teman-teman seangkatan memilih untuk berlomba menandaskan
tugas akhirnya, saya justru memilih untuk tetap belajar pada unversitas
kehidupan ini. Dimana para dosennya adalah manusia luar biasa tanpa mengunyah
gelar kesetrataan; mata kuliah yang diberikan adalah ilmu hidup yang tidak
pernah saya temukan di bangku sekolah; dan SKS yang diterapkan tidak pernah dipatok
oleh angka-angka, namun nilai-nilai kemanusian.
Universitas
kehidupan ini, paling tidak sedikitnya telah mengenalkan diri tentang
kemanusiaan dan nilai-nilai moralitas di dalamnya. Meski secuil ujung kuku ilmu
yang didapat, saya bersyukur karena setidaknya Tuhan telah memberikan
kesempatan mahasiswa totol nan apatis ini untuk belajar pada mereka-mereka yang
luar biasa. Tanpa aling-aling bendera apapun. Tanpa khawatir kalau-kalau ketua
bendera memecat diri karena tidak ambil andil dalam pergerakan. Tanpa perlu
berharap-harap cemas sambil berpikir apa yang bisa diri dapatkan dari bendera
yang menaungi diri, kalau-kalau urusan perut mulai memperihatinkan. Aih, ini
sama halnya dengan tai kucing, bukan? Tapi, sudahlah.
Beberapa
tempo lalu, saat posisi matahari tepat berada di atas kepala, di sebuah
persawahan dan ditemani anak-anak kecil berseragamkan putih merah, seorang marhaen
mengajarkan diri tentang nilai-nilai moralitas kemanusiaan. Marhaen hanyalah
orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil,
dengan alat-alat kecil lagi sederhana, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Kali
ini saya benar-benar menjumpainya dalam pertemuan, bukan pada lembar-lembar
kertas tebal yang berjilidkan sampul.
Orang-orang
desa memang sangat ramah. Meski usia saya jauh di bawah mereka, orang-orang
sepuh di sana begitu menaruh hormat dan santun. Mungkin karena pada saat itu
status saya sebagai tenaga lepas (pengajar) di dusun itu. Hal seperti ini yang sering
membuat saya sering meleleh. Karakter bangsa yang dikenal dengan
keramah-tamahannya masih terpelihara di pelosok negeri. Tidak seperti di tempat
tinggal saya dan di kota-kota sekitar, dimana kepedulian sudah mulai tergerus oleh
gaya hidup yang super wow.
Dengan
memberanikan diri turun ke sawah, saya dapat berkomunikasi langsung dengan para
petani itu. Ya, sekedar bertegur sapa dan ingin melihat langsung bagaimana
mereka bekerja dari jarak yang teramat dekat. Saya ingat percakapan kami
beberapa tempo lalu. Kala itu saya hanya bertanya, “Apa bapak bahagia menjadi
petani?”.
Dengan
ekspresi tersenyum sambil menghisap rokok yang dipeganginya, petani itu
menjawab, “Bertani itu tidak mudah, nak. Namun jika ikhlas menjalaninya ada
kepuasan tersendiri. Mulai dari membajak dengan sapi-sapi ini, menabur bibit,
memupuk, merawat, menjaga dari hama dan burung-burung yang sewaktu-waktu
menghampiri, lalu tumbuh dan berkembang hingga saatnya panen nanti. Setelah memanennya,
kami menjemurnya, kemudian moppo –istilah
masyarakat Madura dalam merontokkan padinya–, lalu menggilingnya hingga menjadi
beras. Tidak hanya sampai di sini, kami menjualnya pada tengkulak di pasar. Terkadang
kami menyimpannya untuk musim kemarau mendatang. Sedih rasanya jika musim panen
gagal. Namun keringat kami tidak bernilai apa-apa jika musim panen kami berhasil.
Ada kepuasan tersendiri bagi kami. Jika ditanya bahagia atau tidak, kuncinya
adalah ikhlas dalam melakukan apapun. Dan kami bahagia menjadi orang tani”. (mak jleeb!)
Kemudian
beberapa meter dari arah ‘marhaen’, saya menemukan seorang perempuan renta dengan
semangat juang menghidupi dirinya. Usianya sudah lanjut, tubuhnya sudah cukup
renta melakukan pekerjaannya. Hanya demi rupiah lima ribu saja dengan
bermodalkan semangat nenek luar biasa ini rela menjadi petani garapan –mereka-mereka
yang bekerja pada sawah orang lain– di bawah teriknya matahari. Meski hanya
menaburkan benih pada bidang-bidang tanah yang cukup luas, tidak ada keluh yang
keluar dari mulutnya untuk menyambut sesuap nasi. Nenek ini selalu membiaskan senyumannya.
Sesekali saya mengajaknya berkomunikasi, dia selalu menatap saya dan tetap
memberikan senyumannya sebagai jawabannya. Ah, sangat malu rasanya jika membandingkan
diri dengan menghabiskan waktu dengan keluhan. Sementara di luar sana, banyak
sekali mereka-mereka yang terganduli dirinya oleh masalah hidup tanpa berkeluh
payah.
Tepat
sudah enam puluh delapan tahun bangsa ini merdeka, lepas dari segala
belenggu penindasan dan kemalangan. Perekonomian tumbuh dengan sangat cepat,
teknologi berkembang pesat dan para intelektual negeri pun terus menerus bermunculan.
Namun ternyata kurun waktu puluhan tahun merdeka tidak cukup untuk membuat para
petani negeri ini makmur. Celakanya, para petani kian lama malah terjelembab ke
dalam jurang yang semakin jauh dari yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Sudah tiba waktunya untuk menghentikan penderitaan para petani yang
notabene menjadi penyumbang paling besar dalam pembangunan negeri ini. Dan
tidak kalah pentingnya, juga peran dari para akademisi dan pelajar negeri ini
untuk terus memberikan sumbangannya kepada khalayak dengan melakukan penelitian
serta pengembangan dalam dunia pertanian demi kemajuan sektor pertanian. Kerjasama
optimal dan menyeluruh dengan antar pihak terkait diharapkan dapat membuat
kondisi pasar produk pangan dalam negeri dan nasib para petani dapat terus
lebih baik setiap tahunnya. Karena mereka, para marhaen, sudah sangat cukup
untuk terus menderita, menjadi orang kecil yang terus dipaksa untuk mengikuti
pola ekonomi imperialisme, malang dan tertindas.
--------
Hei, para pesolek negeri, para pemakan
hak-hak orang banyak. Tolong, buka mata hati kalian lebar-lebar!
Aaaaaahh menyebalkan! >_<
masih suasana lebaran kan,
BalasHapussambil ucapkan mohon maaf lahir batin, mata lirak lirik kiri kanan cari ketupat,
happy independence day for Indonesia...merdeka :-)
Hai, Hariyanto. Terima kasih sudah berkunjung dan komen.
HapusIyaa..mohon maaf lahir dan batin juga yaa. Mudahan-mudahan Indonesia bisa bersih dari tikus, buaya, dan kadal koruptor. Impian yang sulit direalisasikan, tapi sudahlah mari kita amini saja! >_<
MERDEKA !!!
Semoga para pesolek negeri tergugah dan mendapatkan hidayah, sebelum maut menjemput mereka para oknum perusak negeri ini.
BalasHapusSalam wisata
Aamiin..
HapusMenghujat pun juga ngga bakal menyelesaikan masalah. Cara terbaik adalah melakukan dan memberikan semampu yang kita bisa untuk bumi pertiwi ini. Meski hanya berbuat kecil untuk lingkungan terdekat.. :)
Terima kasih sudah berkunjung lagi.. :D
MERDEKA !!!
keren juga yan...gmn punya kabr?
BalasHapusHolaaa, bro!
HapusLong times no see. Akhirnya kau lulus juga, he :D
Alhamdulillaaah baik, Abay. Mohon maaf lahir dan batin yaa.. :)
Salam, MERDEKA !!! :D
semangat,,,,,
BalasHapusmampir d blog saya jg y...
aji-apps.blogspot.com
Hai, Aji. Terima kasih sudah mampir dan komen! :)
HapusIyaa sudah. Semoga blognya bermanfaat yaa..salam kenal :)