.jpg)
Manusia boleh
saja menunggu. Namun bukan berarti mengendapkan diri dalam situasi dan kondisi
yang stagnan. Ada saat dimana diri dihadapan dengan dilematis atas sesuatu yang
diperjuangkan. Atau sederhanya, dipertahankan. Iya, mungkin agar tidak
terlihat seperti mendramatisir ada baiknya menyebutnya dipertahankan. Ah,
terserahlah mau menyebutnya apa. Yang diri peduli adalah bagaimana caranya
untuk terus memperjuangkan (atau mempertahankan) suatu keinginan (yang diri anggap)
mulia demi kemanusiaan agar suatu ketika dapat terealisasikan manakala suatu
tekad yang menguat tadi; memperjuangkan.
Pernah
diri dengar, konon sebuah idealisme musti dipadu padankan dengan realita.
Dengan dalih, agar terlihat tidak ngoyo atau memaksakan keadaan, dan mau-tidak-mau musti menerima dan tunduk pada
kenyataan bagai seorang sahaya yang patuh terhadap titah tuannya. Ini perlu
digaris bawahi, kalau-kalau memang idealisme yang dianut kurang tepat
kebenarannya. Lalu bagaimana jika yang diyakini dan diperjuangkan itu adalah
suatu kebenaran yang hanya saja sering dianggap aneh dan minoritas oleh
kebanyakan orang normal pada umumnya? Terkadang sering terbesit sebuah racauan,
siapa yang sebenarnya kurang normal? Mungkin kah diri, atau barangkali mereka?
Ah, sia-sia menuding siapa. Manusia memang begitu, selalu saja memberi tolak
ukur keberhasilan seseorang dengan materi. Bedebah!
Bagi
sebagian manusia, mengikuti arus sama halnya dengan memposisikan diri pada zona
aman. Namun tidak bagi si bebal. Ini sama halnya seperti menumbuhkan duri dalam
daging bagi mereka. Dan ini sungguh tidak nyaman. Tidak tenang. Seperti ada
yang mengusik, meski tak nampak subjek pelakunya siapa.
Ya
baiklah, mungkin sudah cukup rasanya memposisikan diri pada zona nyaman.
Saatnya keluar dan membiarkan diri menikmati proses ketidaknyamanan dengan
‘mengikuti arus’ yang mereka ciptakan. Ini memang tidak nyaman. Tidak senyaman
bagaimana diri menikmati hujan dibalik tebalnya selimut. Namun jiwa selalu
meyakini, bahwa zona ketidak-nyamanan lah yang akan membuat diri tumbuh dan
berkembang menjadi lebih baik dari biasanya. Maka baiklah, akan diri coba
menikmati bagaimana pergerakan arusnya.
Wahai
diri, peduli apa dengan para topeng, mereka hanya akan mengerdilkan asa-asa yang
sudah menguatkan pijakanmu. Cukup lah aku (jiwa) sebagai penyemangat. Dan
bercerminlah pada seekor salmon. Lihatlah, bahwa seekor salmon pun tidak akan
terbawa arus, hanya saja dia akan mengikuti arus, iya hanya mengikuti arus.
Sebab seekor salmon pun memiliki keyakinan, bahwa di hilir sana, di bawah
pahatan gunung sana, aliran sungai akan kembali memacah untuk memudahkannya
begerak lincah dan melawan arus. Lalu bagaimana dengan kekuatan diri?
Sanggupkah diri melebihinya?
“Diri hanya meyakinkan jiwa, 'harus, dan
semoga'..” :)
mantap nih
BalasHapuscoment balik yah
Hai, Syolepa!
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya. Salam kenal yaa.. :)
Aku adalah salah satu orang yang suka melawan arus, ketika kita masih dalam kesulitan maka semua orang akan mencibir dan mempergunjingkan ketidaknormalan jalan yang kita tempuh, akan tetapi ketika kita sudah mampu melewati semua rintangan dan menjelma menjadi orang yang sukses maka mereka akan tertunduk kagum dan membenarkan jalan yang sudah kita tempuh.
BalasHapusHai, menujumadani.
BalasHapusSangat, amat, teramat, sepakat dengan komen diatas. Iya, yang terpenting kita punya sikap dan berani bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang sudah kita pilih. Apapun, apapun, dan apapun hasil akhirnya, biarkan menjadi rahasia-Nya. Sebab sebaik-baiknya hasil akhir adalah ketetapan-Nya! :)
Terima kasih sudah berkunjung kembali :)